Sudah jelas-jelas kurikulum tidak memperkenankan anak TK diberi PR. Kok masih dilakukan juga. Terlalu! Terlalu!
Sebagai seorang ibu dan juga pendidik, saya merasa pemberian tugas rumah terhadap anak-anak balita ini sungguh disayangkan. Mengutip ucapan ibu ketua IGTKI Jawa Tengah. Kalau kian hari anak-anak ini kian merasa strees dan kehilangan keceriaan karena hari-harinya terbebani oleh PR dan hanya PR yang ada dalam pikiran mereka.
Sepertinya telah terjadi salah persepsi tentang penerapan kebijakan pendidikan di Indonesia. Lalu mengapa terjadi demikian. Ini semua salah siapa? Institusi yang menuruti selera pasar? Ataukah tuntutan dari para orang tua yang menginginkan putra-putri mereka sudah mahir membaca dan menulis begitu keluar dari TK? Padahal notabene pembelajaran calistung dilarang keras diberikan di TK karena dapat merusak anak. Pemberian calistung di TK dinilai tidak sesuai dengan tahapan berpikir anak yang masih berada dalam tahap operasional konkret. Di mana anak masih membutuhkan obyek yang jelas untuk dapat memahami hal-hal di sekitarnya. Termasuk juga calistung ini.
Sebenarnya pengenalan calistung boleh saja dilakukan asal sesuai dengan tahapan berpikir anak yang masih konkret. Dalam berhitung anak-anak masih membutuhkan benda konkret untuk dihitung. Bukan sekedar lambang bilangan. Itu akan membingungkan anak. Sedangkan untuk pengenalan membaca lebih ditekankan pada bentuk-bentuk huruf. Dan bukan merangkai huruf menjadi kata-kata. Itpun hanya bisa diberikan pada anak-anak di kelompok B. Sedang untuk TK kelompok A, program bermain masih jadi prioritas utama.
Namun teman saya di facebook ini mengeluhkan karena anaknya yang masih duduk di TK Kelompok A diberi PR untuk menuliskan nama-nama benda berdasarkan gambar. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa saat itu anak sudah lancar menulis dan merangkai huruf. Benar demikian? Mereka mengeluhkan juga tentang jam belajar yang sangat panjang bagi para balita ini. Di TK plus yang menjanjikan anak lulus sudah mahir calistung, jam belajar anak sampai jam 2 siang. Coba bayangkan bagaimana lelahnya para balita ini menghadapi jam pelajaran yang sangat panjang itu. Sedang rentang konsentrasi mereka sangat pendek.
Pendidikan itu harusnya bisa memfasilitasi anak agar mereka dapat tumbuh dengan optimal sesuai dengan tahap perkembangannya. Bukan hanya menuruti ambis kita sebagai orang tua. Memang betul jaman telah berubah. Era globalisasi mengepung kita. Tapi dari dulu tahapan perkembangan anak kan lewatnay itu-itu juga. Mulai dari bayi, belajar duduk berjalan, semua itu sudah ada ritmenya sendiri. Tidak bisa anak yang belum siap untuk berjalan dipaksa berjalan bukan? Bagaimanapun canggihnya metode yang dipakai.
Sebagai orang tua marilah sedikit bijaksana dengan memilihkan sekolah yang baik untuk anak-anak. Sekolah yang dapat memfasilitasi perkembangan mereka. Bukannya sekolah yang justru membuat mereka stress. Janganlah panik melihat anak tetangga usia empat tahun sudah mahir membaca koran. Anak-anak seperti ini memang menonjol pada kelas-kelas awal di SD. Tapi setelah mereka menginjak kelas empat, hampir tak ada bedanya.
Lalu harus bagaimana? Agaknya perlu penertiban yang serius perihal kurikulum ini. Hendaknya antara kurikulum TK dan kurikulum SD perlu disingkronkan. Jangan hanya melarang TK belajar calistung tapi pembelajaran SD kelas satu langsung demikian berat. Apalagi kalau masuk SD harus pakai tes segala, wah, kasihan anak-anak itu, ya. Semoga ada perubahan ke arah yang lebih baik.
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
4 Komentar:
Poskan Komentar
Link ke posting ini